Thursday, 7 March 2013

Ter-Paksa Golput




Hari ini hampir seluruh instansi pemerintah, universitas, sekolah-sekolah seantero Sumatera Utara meliburkan kegiatannya. Hari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh warga Sumut. Hal itu dikarenakan seluruh warga di provinsi yang berjumlah sekitar 10 juta jiwa ini mengadakan pesta demokrasi pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur untuk periode lima tahun ke depan.
Diantara lima pasangan yang terdaftar di KPU Sumut, masyarakat memilih satu pasangan yang nantinya diloloskan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013 – 2017. Tidak hanya masyarakat yang berbondong ke lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) tapi para personil dari polisi dan aparat TNI pun di siagakan untuk mengamankan hari yang bersejarah ini. Disamping Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), saksi-saksi dari beberapa calon juga meninjau jalannya pemilihan dan penghitungan surat suara.
Idealnya seluruh warga Sumut bisa ikut ‘berpesta’ pada pilgub kali ini. Namun itu tidak terjadi pada para perantau yang berada di Kota Medan. Mereka ini umumnya para mahasiswa yang menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di Medan serta para pekerja yang mengadu nasib di kota ini. Mereka tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena domisili yang berada di daerah serta terdaftar sebagai pemilih di daerahnya.
Akibatnya mereka terpaksa golput (tidak memilih) bukan karena tidak mau tetapi karena tidak bisa. Golongan putih (golput) tentu saja bukan pilihan bagi sebagian orang namun terkadang keadaan yang membuat seseorang tikas bisa memilih. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan yang jelas dan mudah bagi perantau yang berada di luar daerah domisilinya. Kalaupun ada masih sulit dilakukan dengan berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Penulis sendiri tidak bisa menggunakan hak pilih pada pemilihan gubernur kali ini disebabkan tinggal di Kota Medan untuk menimba ilmu tetapi mempunyai Kartu Tanda Penduduk kabupaten Toba Samosir yang masih dalam provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu sedikit mengecewakan bagi penulis yang mempunyai hak pilih apalagi dalam agama Islam dikatakan bahwa memilih pemimpin itu adalah kewajiban umat. Jika yang terpilih nantinya bukan yang terbaik dan kesengsaraan bagi umat manusia umat islam ikut bertanggung jawab atas hal itu di dunia dan akhirat.
Penggunaan KTP elektrik sebetulnya bisa menjadi alternatif lain yang lebih baik. Hal itu berdasarkan tujuan, manfaat serta fungsinya yang memuat data pemiliknya secara digital dan mudah untuk digunakan. Dengan begitu setiap orang cukup membawa KTP Elektrik sebagai tanda pengenalnya dan sebagai identitas pemilih ke TPS terdekat dan setelah diidentifikasi di komputer server KPU langsung bisa memilih.
Jika sistem ini dilaksanakan tentu saja sangat mempermudah kinerja KPU kedepannya. Karena mereka hanya tinggal memberikan undangan kepada warga untuk memilih pada pemilihan gubernur seperti sekarang ini, caleg, walikota/bupati bahkan camat dan kepala desa. Selagi seseorang itu masih warga Sumut yang ditunjukkan dengan kepemilikan KTP Sumut dimanapun mereka berada bisa ikut berpartisipasi menyukseskan setiap pesta demokrasi yang diadakan.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari sistem ini jika dijalankan dengan baik dan benar, diantaranya
1.    Kartu pemilih tidak hanya berlaku untuk satu kali saja tetapi berlaku untuk setiap kegiatan yang bersifat membutuhkan data pribadi pemilih.
2.    Warga tetap bisa memilih walaupun tidak berada di daerahnya. Misalnya pemilih sedang kuliah di Jakarta tetapi dia bisa memilih melalui sistem online KPU.
3.    Anggaran untuk pembuatan kartu pemilih sementara dapat dialokasikan ke bidang lain yang lebih membutuhkan.
4.    Mempermudah kinerja KPU mendata pemilih karena hanya mencocokkan atau mengidentifikasi dari KTP yang dibawa setiap peserta pemilih.
Bahkan untuk perangkat dan aplikasi yang lebih modern tidak perlu lagi menggunakan KTP Elektrik dan kertas suara, identifikasi cukup dengan sidik jari peserta pemilih. Sedangkan pemilihan/pencoblosan hanya dengan memilih foto orang yang dipilih di layar monitor perangkat pemilihan. Hal ini berdasarkan pengamatan penulis sekitar tahun 2009 ketika melihat sebuah tayangan televisi tentang Pemilihan Kepala Dusun di sebuah desa di Bali yang sudah sangat modern. Warga dusun yang hanya berjumlah 153 orang memilih dengan cara digital pada perangkat pemilihan yang modern. Jadi tidak ada kertas suara lagi. Semua serba digital.
Pemimpin di daerah tersebut sangat sadar teknologi sehingga kepada warganya diperkenalkan cara memilih yang menggunakan teknologi mutakhir. Padahal wilayah mereka bukanlah provinsi, kota/kabupaten atau kecamatan tetapi hanya sebuah dusun kecil yang penduduknyapun hanya sedikit. Artinya mereka yang lingkupnya hanya dusun saja bisa seperti itu kenapa kita yang katanya provinsi terbesar keempat malah kalah dari mereka. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi KPU mulai dari pusat sampai tingkat bawah khususnya KPU Sumut sendiri.
Memang jika sistem ini berlaku tentu menimbulkan dampak-dampak tertentu. Misalnya percetakan pembuat kartu pemilih dan kertas suara pasti berkurang dan gulung tikar serta para pekerja yang melipat kertas suara juga tidak akan ada lagi. Namun sebagai bangsa yang sedang berkembang dan ingin maju tentu bisa memilah dan mililih mana kebijakan yang terbaik rakyatnya. Setiap keputusan pasti menimbulkan dampak positif dan negatif.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat seperti sekarang ini untuk mewujudkan hal diatas bukan hal yang sulit. Apalagi saat ini Indonesia menjadi negara ketiga yang maju di bidang IT/TI (Teknologi  dan Informasi). Begitu banyak anak muda Indonesia yang mumpuni di dunia IT bahkan yang menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Tentunya hal ini sangat membanggakan kita semua karena dengan begitu kita tidak perlu memakai ‘orang luar’ dalam me-manage database penduduk Indonesia. Dikhawatirkan dengan memakai ahli dari luar database kependudukan kita bisa dimanipulasi bahkan dicuri untuk kepentingan tertentu.
Hal itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat. Karena database kependudukan merupakan rahasia dan data milik negara yang tidak boleh jatuh ke negara lain. Jika sudah begitu tentu tidak ada rahasia lagi yang bisa disembunyikan.
Semoga saja pemilihan kepala daerah kali ini dapat memilih pemimpin yang beriman, bertaqwa, jujur, bersih, peduli serta memiliki kemampuan mengelola provinsi ini ke arah yang lebih baik dan maju.
Salam Demokrasi

Oleh : Hamsyah Fadhli

No comments:

Post a Comment